Jumat, 12 September 2008

Kuterjemahkan Sendiri Isyarat Senja


Tiba-tiba sore itu penuh cahaya. Setelah sisa terakhir warna senja menggusap kelopak mataku. Aromanya yang teduh merambat pelan di dalam hidung. Semakin dalam kuambil nafas. Dalam dan semakin dalam serta makin lama aku menatap screen jingga di sudut paling barat.
Inikah kematian yang datang? Ataukah perasaan rindu yang dalam di sebuah ruang beku sudut hatiku? Lebih baik aku tidak mempercayai perkataanmu hari ini. Bukannya aku tidak cinta diriku yang lain. Namun, aku hendak meluruskan sayap dan terbang bagaikan Jibril. Tanpa ada yang mengikuti.
Dari atas tampak awan yang mengarak suatu kisah tentang perjalanannya. Satu kisah yang tak pernah kaulupakan ketika menembus ujung waktu di batas dunia. Aku meninggalkan kotamu hari ini. Bersama cinta yang hendak kukepak sendiri dalam ranselku yang baru. Tas warna biru yang kita beli bersama beberapa waktu silam.
Tentunya kamu akan ingat selalu. Tentang senja yang tersenyum di atas atap rumah-rumah kaum girli (pinggir kali), di seberang Code. Kamu diam seribu bahasa, seakan di benakmu sedang bertarung dua kata untuk mengisi kekosongan musim ini. Aku pesankan teh manis panas. Bersama beberapa gorengan yang masih hangat pula. Aku tahu, hari ini terakhir aku berada di dekatmu. Akankah semua menjadi baik-baik lalu biasa-biasa saja?
Daun-daun larut dalam irama sore yang kelabu. Seperti ada perpisahan diam-diam antara bulan dan bintang. Daun-daun kering menjatuhkan diri seperti ingatan masa silam yang tertiup angin, terbang dalam temaram lampu kota.
Bukankah kedatanganku ke kota ini hendak menggenapkan kisahku sendiri? Seperti mencari potongan puzzle dalam gunungan daun dan ilalang kering. Musim begitu singkat bagiku. Cerita tentang laki-laki yang selalu terjerat dalam perjalananku, kubiarkan berjatuhan pada trotoar kota yang panas dan berdebu. Aku ragu, akankah kembali kupunguti cerita-cerita itu?
Kau bawa aku dalam bisu, menembus malam yang sama-sama diam. Hanya suara bising dari knalpot-knalpot kendaraan yang mencoba menyelami kebekuan hati. Aku masih tidak mengerti kenapa kamu diam? Marahkah kamu? Mengapa aku selalu kesulitan menebak kebekuan ini. Tapi aku yakin, sebenarnya kita, aku dan kamu selalu mencoba menerjemahkan cahaya apa yang sedang menyelimuti hati kita. Masih ragukah kamu?
Kita duduk di dekat sungai dengan air yang memantulkan bayangan kita. “Biarkan potret ini hanyut ke tujuh samudera,” batinku. Karena disanalah takdir yang seperti mesin akan mendekatkan jarak kita. Dan udara ini, wangi sore ini, cahaya phirus ini, biarkan menjadi setipis benang ketika kelak aku meninggalkan tempat ini.
Sekarang aku tahu! Kamu hendak meninggalkanku sendirian dalam perahu di danau keraguan? Satu persatu pengemis datang. Awalnya seorang ibu yang tengah hamil. Lalu anak-anak kecil sambil membawa kecrekan. Kauberikan beberapa keping uang logam ke mereka. Apakah aku harus mengemis seperti mereka? Taulah.
Dinding di bandara terasa begitu dingin. Tak kulihat sembab di matamu. Masih keraskah hatimu?
Inikah kerinduan? Ataukah benih-benih keraguan yang mulai membiak di tubuh? Dari atas kupandangi sekali lagi tempat-tempat yang kita kunjungi bersama. Seperti ada kenangan yang tak pernah luntur oleh waktu. Lalu kotamu menjadi semakin kecil dalam lanskap senja. Bersama bayanganmu.
Yogyakarta, senja terakhir di bulan Agustus.

1 komentar:

e-learning-medwist mengatakan...

sangat memotivasi..
tulisannya sangat bagus...