Rabu, 22 Oktober 2008

DIANOIA

Bagaimana aku lupa. Di tanganmu luka
menjadi indah. Dan langit, kaudekatkan jaraknya. Hingga dengan mudah
kuraih sebuah bintang.
Bersama burung-burung aku mengembara
dalam kesunyianmu. Keletihanku diterbangkan angin. Hinggap di atas
awan-gemawan, lalu turun bersama hujan. Membasahi kemarau dan
kata-kata.
Bagaimana bisa aku lupa. Mata perempuan
tiba-tiba menjelma cahaya Phirus hijau yang indah. Membuat terang
dalam batin yang gelap. Lewat mata perempuan, akhirnya aku
mempercayai surga. Karena di tanganmu semua luka menjadi indah.
Bersama jangkrik dan kepik-kepik, aku
hirup senja di lembah ini. Taman edelwais yang kusinggahi di dataran
paling puncak, abadi dalam bingkai. Seperti aku memaknai keindahan
pada mata perempuan itu. Aku biarkan embun mencecap mimpi melalui
ubun-ubunku. Membawanya turun pada kota yang sudah begitu gelisah.
Dengan got-got mampat, berair keruh dan melas penduduk pinggiran.
Di tanganmu semua luka menjadi kisah
cinta.
Ah, Efrosina putihku. Jiwaku memar.
Satu-satu daun Pinus Merkusii berguguran dari sembab mataku.
Di kejauhan seluruh masjid bertakbir, para malaikat pulang ke tabir.
Meninggalkan sayap-sayap mereka dihati yang tengah berbunga. Bagai
hujan rusuh menghunjam lebuh kemarau, wajahnya menyelinap dalam
mimpiku.
Aku tahu. Engkaulah perempuan membawa
ramalan tentang cinta untukku. Menawarkan setetes embun surga lewat
senyummu. Dan aku ingin engkau, perempuan! Untuk menjadi bagian dari
sisa hidupku. Menuntun liar imaji, dan nalarku pada sebuah jalan
penuh cahaya. Aku sudah jatuh hati padamu, wahai perempuan dengan
cahaya surga. Dalam air mata yang tak pernah berhenti keluar dari
jiwa.
Bagaimana aku lupa. Kesedihanku
merangkum ranum senyum itu.
Aku berdiri di atas tebing gunung ini.
Tiba-tiba aku ingin terbang bukan lagi sebagai elang yang terasing.
Namun, sebagai sepasang merpati yang setia menanti musim. Di lembah
yang begitu hijau—di bawah tatapan biru mata Tuhan—kita biarkan
jiwa kita bersatu. Menantang gelombang liar yang telah banyak
membunuh cinta. Kita bersatu. Hati kita diantara ribuan cahaya dalam
galaksi bima sakti.
Aku persunting perempuan menjadi
mempelaiku. Dan telah kubiarkan dirinya mengalir dalam jalan darahku.
Aku ingin katakan padanya, aku mencintainya. “Cintaku, dirimu
membuatku tak lagi percaya kata-kata.” Ia pun kukekalkan dalam
ingatan.
Perempuan. Pernahkah engkau melihat
mawar yang berasal dari airmata? Kebahagiaan yang lahir dari
kesempurnaan duka. Jauh dari lubuk hati, kutetapkan engkau menjadi
mempelaiku.
Malam larut dalam Dzikir akbar.
Pohon-pohon bertasbih, bintang-bintang memendarkan cahayanya yang
paling sempurna. Aku bersujud padaMu, Ya Allah! Atas nama cinta
putih. Alampun sunyi dalam tangis. Kebahagiaan menyala dalam sunyap.
Ayat-ayat cinta merengkuhku. Membawa jiwa terbang ke angkasa.

Menara Waktu

Akulah menara jam itu. Menentukan arah.
Membawa cuaca dalam genggaman. Sanggup memberikan warna apa saja
dalam cahaya. Seperti pagi yang jatuh di bawah bayang-bayang batu.
Aku memulasnya jadi hijau dalam musim yang kemarau.
Siapa yang sanggup menghentikan kembara
sang waktu. Karena langit selalu meneriakkan tanda rahasia.
Memantulkannya pada jendela-jendela kota. Hingga terhirup seperti
udara dalam nafas. Disanalah waktu berenang bebas, hingga kau
berhenti dengan nafas yang begitu pucat. Dalam gelap yang
menyempurkan malam.
Aku berjalan menyusuri lorong hujan.
Musim basah. Gelap berubah remang-remang. Kecemasan berenang-renang
dalam darah. Duduk di sebuah batu. Ah, begitu dingin ruang tunggu ini
dan sebuah kamar kematian mulai mengintaiku.
Dalam catatan tugas ketentaraan, aku
sudah dicap sebagai desersi. Musuh paling dicari dalam kesatuan.
Cepatlah berkemas, bisik pohon-pohon dalam pelarianku.
Dalam hutan. Kecemasan menjadi racun
paling mematikan. Dialah musuh utama yang harus kamu taklukkan.
Bayang-bayang daun rontok. Menjadi isyarat paling hitam dengan musik
yang kedengarannya seperti requim. Isyarat itu pengkabaran beku,
kisah para pengelana yang mati oleh buasnya kesunyian.
Dalam duniaku, cahaya telah menghisap
debu-debu. Membakar sepi dalam ranjangnya yang sendiri. Tanpa kasur
dan bantal. Sebuah tempat tetirah paling menyenangkan, setelah
menziarahi matahari. Disana beterbangan mimpi-mimpi penuh cahaya.
Seakan-akan mimpi adalah kenyataan itu sendiri.
Namun, ini dunia yang asing. Dimana aku
tidak bisa melawannya dengan bedil dan bayonet. Hanya sepi dan
lembabnya tanah menjadi riwayat yang aku kenali. Penuh rawa-rawa
lengkap dengan semua jenis binatang buas. Serta aroma kebun kamboja
yang menjadi dupa untuk memanjatkan doa.
Aku rebahkan tubuhku di sebuah bukit
kecil di tengah-tengah belantara. Rasa capek luar biasa menyemut di
sekujur tubuh. Perutku kejang. Gelisah panjang membawaku dalam
persetubuhan sepi. Akhirnya, kelelahan menidurkanku. Dan enzim yang
perlahan-lahan meracuni, mulai keluar dari batang-batang rumput yang
aku makan selama satu minggu ini.
“Ah! Seandainya atasanku tidak
memperkosa kekasihku.”
Aku tak akan sudi berkelana dalam asing
musim ini. Sebilah sangkur menembus dada hingga ke belakang. Darah
bercampur tuak muncrat. Beberapa saat aku takjub. Begitu indah
bercengkerama dengan kematian. Matari pun gontai. Cahaya jatuh
limbung dalam semak-semak. Bangkainya ditemukan seminggu kemudian.
Gerimis dari embun tumpah di bawah
kaki. Tiba-tiba kucium sekali lagi wangi rambutmu yang panjang
terurai. Melintasi reruntuhan rindu. Suara biola mengalun dari
kaki-kaki langit. Kulihat bola matamu yang selalu berkaca-kaca.
Sebening embun di ujung daun. Kata-katamu indah memuntahkan seribu
atlas yang terbakar. Melihatmu, brahmana pun sudi meninggalkan
pertapaannya. Sardi rela kehilangan nyawanya. Taman-taman kehilangan
mawar. Pagi kehilangan matahari serta cahayanya.
Kau gadis desa. Lahir dan besar diatas
setumpuk daun pisang. Cahaya seringkali memandikanmu dan pohon
mengajarkanmu untuk selalu berkidung. Siapapun akan jatuh hati,
ketika matamu sedingin es itu menusuk tepat di ulu hati.
Perempuan tanpa nama. Lahir hanya untuk
membuatku takjub. Membuatku selalu ingin belajar bagaimana caranya
merangkai kata-kata. Hendak kuriwayatkan cuaca untukmu. Kubangun
seribu menara jam untuk membuat waktu jadi milikku. Kupersembahkan
seutuhnya selusin musim tanpa cidra dalam anganmu. Kusatukan seribu
benua dalam peta yang mengisyaratkan sepi untuk mempersuntingmu.
Aku tak akan menyesali pelarianku ini.
Satu cahaya kini, adalah tubuhmu yang menungguku di sebuah danau
biru. Hanya menungguku . Atau waktu?
Apa yang meski aku ingat darimu kini?
Wajahmu? Hidungmu? Kupingmu? Kedua dadamu? Kedua kakimu yang seputih
pualam? Sedang pada namaku sendiri aku menjadi alpa. Apa yang tersisa
dalam waktuku? Riwayat-riwayat aku biarkan menjadi lusuh dan pudar.
Tapi untukmu. Aku kekalkan pada waktu, hingga mayat sekalipun akan
bertanya-tanya tentangmu.

Keheningan malam…

Teruntuk :

Ikhwanku
Mahkota cintamu telah kau mahkotai ke atas jilbabku, biarlah terpatri indah dan memaknai jalannya sendiri. Ikhwanku jika benar engkau adalah takdir yang akun menjadi mujahidku biarlah ku baktikan seluruh jiwa dan ragaku untuk melayanimu. Jika benar ALLAH mengirimkan mu sebagai takdir hidupku, halalkanlah hubungan ini menjadi sunah rasul sebagai penyempurna iman kita. Aku relakan atas seluruh jiwa ragaku mendampingi kala sehat, sakit, suka, duka mu. Sepanjang perjalanan hidup kita kelak.
Mujahidku
Ikhtiarmu… Ikhtiarku… biarlah istiqomah menjalani rentan waktu menuju gerbang yang kita nantikan. Biarlah ku sapu telapak kakimu dengan wajahku, biarlah jiwa ini terjaga dalam lelapmu, dan biarlah tangan ini yang menyuapi hingga datang kenyang mu…
Mujahidku
Jika datang halal nanti, maukah kau ridho atas apa yang ku makan, apa yang ku pakai hingga ALLAH mau meridhoiku pula? Namamu akan selalu ku bawa dalam istikorohku, setiap nafas dzikir dan doa panjang malam ku, karena ketulusanku mencintaimu dengan seluruh apa yang ada atas dirimu…
Mujahidku
Dalam sujud terakhirku bersimpuh dan memanajatkan doa untuk mu, untuk ku, dan untuk kita…
Ya Rabb…
Aku hamba-Mu yang lemah dan tak berdaya ini
Aku datang bersujud mengharap belas-Mu
Ya Rabb ijinkan aku membawa nama nya “Achmed Cahyanto” dalam doa ku malam ini…
Ya Rabb…
Jika ia baik untuk ku maka dekatkanlah kami, dalam satu nafas cinta penuh doa, jagalah hatinya Rabb, sampai penyatuan luhur dengan Ridho-Mu…
Ya Rabb jangan iarkan ia letih dalam cobaan yang akan kami lewati kelak, jangan biarkan cinta ku, cintanya kandas di makan waktu…
Ya Rabb…
Jika ia tak baik untuk ku maka hamba mohon gantilah cinta dan kerinduan hamba untuk nya menjadi cinta dan kerinduan ku pada Engkau melebihi apapun… karena aku tau dan aku percaya hanya Engkau yang mampu membolak-balikan hati manusia, tiada daya upaya yang melebihi kekuasaan-Mu Rabb…
Ya Rabb biarlah apa yang terjadi adlah kehendak-Mu…
Amin…
Mujahidku
Meski aku bukan gunungmu yang menjulang indah, aku juga bukan bintang kecilmu yang benderang, aku pun bukan elang mu yang gagah, tapi aku akan mencintaiu melebihi indahnya gunung, terangnya bintang, dan gagahnya elang…
Dalam hawa malam Jakarta yang panas…
Desny Arisandy…
Perempuanmu…

Wahai perempuan yang mencintai hujan…

Kau seduh kembali sedihmu dengan secangkir sisa hujan…
Mendung di hati senja tak kunjung jua hilang…
Kepompong membusuk di ujung ranting yang basah…
Mata indahmu kelabu tak mampu melihat…
Indahnya warna warni sayap yang seperti pelangi…
Perempuan itu terpekur sendiri disisi sebuah nisan…
Lantas hilang dalam rimbunan daun-daun…
Satu kenangan buatnya tugur…
Ia tulis namanya dengan sisa air mata…
Berlembar-lembar masa lalu…
Jatuh bagai kabut, begitu lembut…
Menggorongnya bersama angin
Musim penghujan namun aku masih punya teratai ungu
Sepasang mawar dan sepasang melati…impianku hanyalah melihat mereka mekar! Ujarmu…

Bercinta Dengan Malam

Aku merinduimu
saat ini…
Merindui setiap
jejak hati yang kau berikan pada ku…
Aku
menginginkanmu hadir saat ini…
Menginginkanmu
dan harum tubuhmu saat kau dekap aku…
Bersama kita
jejaki kota tua pinggir stasiun itu…
Kala terantuk
kita baringkan tubuh dekat pantai, dengan semilir angin membuat kita
terlelap….
Adakah inginmu
menemuiku petang ini?
Karena mentari
terlalu kejam untukmu, sedang bintang telah menunggumu bercinta
dengan malam…

Ketidakberdayaanku...

Ketidakberdayaanku
menjadikanku mencintaimu… Dan hanya kamu…
Ketidakberdayaanku
pun memaksaku harus pergi darimu…
Dengan
segenap cinta ini tolong maafkan aku yang hanya mampu nenberikan mu
seonggok cinta ini dan tak mampu memberi yang lebih dari pada ini…