Rabu, 22 Oktober 2008

Menara Waktu

Akulah menara jam itu. Menentukan arah.
Membawa cuaca dalam genggaman. Sanggup memberikan warna apa saja
dalam cahaya. Seperti pagi yang jatuh di bawah bayang-bayang batu.
Aku memulasnya jadi hijau dalam musim yang kemarau.
Siapa yang sanggup menghentikan kembara
sang waktu. Karena langit selalu meneriakkan tanda rahasia.
Memantulkannya pada jendela-jendela kota. Hingga terhirup seperti
udara dalam nafas. Disanalah waktu berenang bebas, hingga kau
berhenti dengan nafas yang begitu pucat. Dalam gelap yang
menyempurkan malam.
Aku berjalan menyusuri lorong hujan.
Musim basah. Gelap berubah remang-remang. Kecemasan berenang-renang
dalam darah. Duduk di sebuah batu. Ah, begitu dingin ruang tunggu ini
dan sebuah kamar kematian mulai mengintaiku.
Dalam catatan tugas ketentaraan, aku
sudah dicap sebagai desersi. Musuh paling dicari dalam kesatuan.
Cepatlah berkemas, bisik pohon-pohon dalam pelarianku.
Dalam hutan. Kecemasan menjadi racun
paling mematikan. Dialah musuh utama yang harus kamu taklukkan.
Bayang-bayang daun rontok. Menjadi isyarat paling hitam dengan musik
yang kedengarannya seperti requim. Isyarat itu pengkabaran beku,
kisah para pengelana yang mati oleh buasnya kesunyian.
Dalam duniaku, cahaya telah menghisap
debu-debu. Membakar sepi dalam ranjangnya yang sendiri. Tanpa kasur
dan bantal. Sebuah tempat tetirah paling menyenangkan, setelah
menziarahi matahari. Disana beterbangan mimpi-mimpi penuh cahaya.
Seakan-akan mimpi adalah kenyataan itu sendiri.
Namun, ini dunia yang asing. Dimana aku
tidak bisa melawannya dengan bedil dan bayonet. Hanya sepi dan
lembabnya tanah menjadi riwayat yang aku kenali. Penuh rawa-rawa
lengkap dengan semua jenis binatang buas. Serta aroma kebun kamboja
yang menjadi dupa untuk memanjatkan doa.
Aku rebahkan tubuhku di sebuah bukit
kecil di tengah-tengah belantara. Rasa capek luar biasa menyemut di
sekujur tubuh. Perutku kejang. Gelisah panjang membawaku dalam
persetubuhan sepi. Akhirnya, kelelahan menidurkanku. Dan enzim yang
perlahan-lahan meracuni, mulai keluar dari batang-batang rumput yang
aku makan selama satu minggu ini.
“Ah! Seandainya atasanku tidak
memperkosa kekasihku.”
Aku tak akan sudi berkelana dalam asing
musim ini. Sebilah sangkur menembus dada hingga ke belakang. Darah
bercampur tuak muncrat. Beberapa saat aku takjub. Begitu indah
bercengkerama dengan kematian. Matari pun gontai. Cahaya jatuh
limbung dalam semak-semak. Bangkainya ditemukan seminggu kemudian.
Gerimis dari embun tumpah di bawah
kaki. Tiba-tiba kucium sekali lagi wangi rambutmu yang panjang
terurai. Melintasi reruntuhan rindu. Suara biola mengalun dari
kaki-kaki langit. Kulihat bola matamu yang selalu berkaca-kaca.
Sebening embun di ujung daun. Kata-katamu indah memuntahkan seribu
atlas yang terbakar. Melihatmu, brahmana pun sudi meninggalkan
pertapaannya. Sardi rela kehilangan nyawanya. Taman-taman kehilangan
mawar. Pagi kehilangan matahari serta cahayanya.
Kau gadis desa. Lahir dan besar diatas
setumpuk daun pisang. Cahaya seringkali memandikanmu dan pohon
mengajarkanmu untuk selalu berkidung. Siapapun akan jatuh hati,
ketika matamu sedingin es itu menusuk tepat di ulu hati.
Perempuan tanpa nama. Lahir hanya untuk
membuatku takjub. Membuatku selalu ingin belajar bagaimana caranya
merangkai kata-kata. Hendak kuriwayatkan cuaca untukmu. Kubangun
seribu menara jam untuk membuat waktu jadi milikku. Kupersembahkan
seutuhnya selusin musim tanpa cidra dalam anganmu. Kusatukan seribu
benua dalam peta yang mengisyaratkan sepi untuk mempersuntingmu.
Aku tak akan menyesali pelarianku ini.
Satu cahaya kini, adalah tubuhmu yang menungguku di sebuah danau
biru. Hanya menungguku . Atau waktu?
Apa yang meski aku ingat darimu kini?
Wajahmu? Hidungmu? Kupingmu? Kedua dadamu? Kedua kakimu yang seputih
pualam? Sedang pada namaku sendiri aku menjadi alpa. Apa yang tersisa
dalam waktuku? Riwayat-riwayat aku biarkan menjadi lusuh dan pudar.
Tapi untukmu. Aku kekalkan pada waktu, hingga mayat sekalipun akan
bertanya-tanya tentangmu.

Tidak ada komentar: